Akhirnya bs ngeblog lagi.
ini tulisan yang cukup panjang, balas dendam, setelah sekian
lama.
Harap maklum. haha
---
Menjadi mahasiswa 'calon' pengguna jas putih.
Ini hanya sepenggal perjalanan salah satu mahasiswa yang kebetulan
sedang menapaki jalan panjang di dunia kedokteran.
Merah ke putih untuk merah putih. Saya meminjam kalimat teman saya
yang saya dengar di tahun pertama kuliah saya di fakultas itu. Saat itu sebagai
mahasiswa baru kami diminta memberikan usulan tagline untuk inaugurasi yang
kebetulan lagi saya masuk ke kepanitiaan itu. Cukup lama saya memikirkan
kalimat itu sampai mengerti dengan benar apa arti dari kalimat itu.
Merah melambangkan warna almamater unhas yang kebetulan lagi
menjadi tempat saya memperjuangkan mimpi saya, putih melambangkan jas putih
yang dengan susah payah sedang kami perjuangkan, dan merah putih lambang
bendera dimana akhirnya tempat kami berjuang setelah mimpi saya tercapai ya
intinya Indonesia lah ya..
Sudah 2 tahun saya menyandang ‘gelar’ mahasiswa kedokteran.
Mahasiswa di fakultas yang katanya menjadi impian banyak orang pintar. Saya pun
tidak terlalu pintar. Otak IQ standar saja lah,, ya meskipun sampai hari ini
saya belum pernah mendapat angka pasti dari hasil test yang beberapa kali saya
lakukan.
Menjadi mahasiswa kedokteran tidaklah seindah yang orang
pikirkan, dan tidak sesuram yang orang katakan. Pulang ke kampung halaman,
ditanyakan seputar penyakit yang bahkan beberapa belum pernah dikuliahkan,
ditanyakan obat yang saya sendiri masih bertanya ke orang tua saya, dan bahkan
ditanyakan menu makanan yang menjadi pantangan bagi mereka.
Dicap ‘pintar’ karena bisa tembus fakultas kedokteran univ negri
pula. Padahal mereka tidak tau, jika saja saya putus asa di SNMPTN mungkin saja
saya sekarang tidak beralmamater merah. Ada campur tangan Tuhan di Sini, yang
dengan agung saya agung-agungkan beliau.. Allahu akbar..
Saya Cuma yakin, doa orang tua selalu di ijabah, melebihi doa
saya. Allah tidak akan membiarkan hambanya yang bermohon dan berusaha.
Berusaha. Ya berusaha. Betapa hancurnya saya saat pengumuman
SNMPTN itu menjadikan saya satu2nya orang yg tidak lulus diantara teman2 saya
yg kebetulan waktu itu sedang les bahasa inggris di pare, Kediri. Saya merasa
doa saya tidak diijabah, padahal siang malam bahkan tengah malam selama
berbulan bulan saya berdoa dengan kalimat yang hampir sama “luluskanlah saya di
SNMPTN nanti ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk saya” . saya hanya ingat
kalimat pertama, saya lupa ada kalimat kedua yang selalu juga saya ucapkan.
Malam itu saya merasakan titik kehancuran dalam hidup saya. ini tidak lebay.
Saya menuliskan ini dengan sadar, dan tanpa melebih-lebihkan.
Malam itu saya tidur setelah menangis hampir 3 jam, menangis
sendiri di aula besar di samping kamar asrama les saya. mungkin memang saya
butuh jatuh untuk merasakan bagaimana bahagianya bangkit itu. Sejak saat itu
saya berjanji untuk serius belajar. Hanya tinggal tersisa sebulan lebih untuk
bs mendapatkan kesempatan menjadi mahasiswa di fakultas impian saya tahun ini.
Singkat cerita, rencana Allah memang selalu lebih indah dari
rencana kita, mahluknya.
Saya jauh dari orang tua. Makassar adalah tempat transit semua
jurusan semua pesawat dari kampung halaman saya. setiap kali orang tua berangkat
kemanapun, mereka selalu transit di kota ini. Kalau saja sy kuliah di kota
lain, mgkin saya harus menahan rasa rindu lebih lama untuk sekedar mencium
tangan beliau2, orang yang selalu ingin saya lihat senyumannya. Akhirnya saya
kuliah di kota ini. Memang saya masuk dengan jalur mandirinya, tapi
semahal-mahalnya jalur mandirninya, ini adalah jalur mandiri paling murah yang
saya temui di Indonesia.
Tahun pertama adalah tahun penuh perjuangan. Tahun dimana saya
harus beradaptasi dengan bahasa yang sejujurnya membuat saya sering
ditertawakan. Salah logat, kadang membuat saya memilih diam meskipun sebenarnya
saya ingin berbicara. Tapi Alhamdulillah, lama kelamaan saya bisa beradaptasi,
karna tidak ada pilihan lain.
Ada beberapa kata yang harus saya sesuaikan, misalnya kata ‘kita’.
Kita di daerah asal saya artinya saya, sedangkan di sini artinya kamu. ‘Kau’ di
tempat saya dianggap sopan, sedangkan di sini kau itu tidak terlalu sopan. Saya
pun harus menghilangkan logat bawaan saya yang 17 tahun lebih saya gunakan.
Bukan sekedar beradaptasi dengan logat, saya juga harus
beradaptasi dengan kehidupan jauh dengan orang tua. Semua keperluan ospek harus
saya sediakan sendiri, tak ada satupun keluarga saya di kota ini. saya sudah
terbiasa jauh dari orang tua. Tapi belum terbiasa mencari segala sesuatu
sendirian. Untunglah ada teman sy yang kebetulan dari SMA sekelas dengan saya.
kami bernasib sama, sama-sama maba. Haha
Tahun kedua juga penuh perjuangan, tapi mungkin tidak sepadat
tahun pertama. Bukan santai, hanya saja mungkin sudah terbiasa dengan segala
jenis kegiatan. Saya pun punya agenda khusus yang saya letakkan nomor dua di
skala prioritas saya setelah kuliah,, Membuat adik saya menjadi junior saya.
Oh iya, perkenalkan, adik saya. namanya sri n. h. (*nama di
samarkan. haha). Saya hanya berbeda 2 tahun 2 bulan dengan dia. Tuhan memang
adil, memberikan nikmat estetika lebih kepadanya, dan memberikan sy otak yang
‘sedikit sekali’ lebih encer daripadanya. Kami berdua sama-sama sadar akan hal
itu. Dan saya tidak malu, begitupun saya meyakinkan dia untuk tidak mengeluh
atas apa yang sudah ada. Bukankah sebagai ciptaanNya, kita harus selalu
bersyukur dengan apa yang sudah diberikan?
Saya tidak mengatakan bahwa saya lebih pintar dari dia, hanya saja
takdir mengantarkan saya pada pemahaman yang lebih atas beberapa hal yang
kebetulan kurang dikuasainya. Tahun kedua kuliah saya saya fokuskan untuk
mengurus adik saya, tanpa mengesampingkan kuliah yang menjadi alasan saya ada
di kota ini. Kebetulan dia setahun lebih dulu ada di sini, memilih pilihannya
sendiri saat kebetulan dia belum lolos di SMA saya. pilihan yang cukup bijak
menurut saya. jauh jauh ke kota orang, padahal dia tau benar tidak ada keluarga
di sini, dan memilih masuk ke sekolah berasrama yang khusus putri. Menjadi anak
baru (karna pesantren, 6 tahun, dia masuk kelas 4), tentu perjuangannya di
tahun pertama di kota ini lebih berat dari saya karna harus berjuang agar bisa
di ‘terima’ oleh teman2 yang notabenenya sudah lebih dulu 3 tahun di sekolah
itu.
Tahun kedua bagi saya, berarti tahun ke tiga untuk adik saya. dia
akan menghadapi ujian nasional. Ujian yang maaf saja, dulu di SMA saya jauh
lebih gampang dari ujian semesternya, tapi tidak berlaku untuk adik saya.
Sekali lagi, saya dan adik saya sadar betul akan hal itu. Sebagaimana label
pesantren yang beredar di masyarakat, akhlak dan kebiasaanya akan baik, tapi
mungkin akademiknya tidak sebaik akhlaknya. Saya pun sedikit setuju dengan
statement ini. Adik saya semacam OSIS, bagian bahasa, berbahasa arab dan
inggris dengan fasih, shalat bahkan sunnah yang saya sendiri jarang
melaksanakannya, puasa rajin bahkan yang saya sendiri lupa apa alasannya puasa,
tapi sehebat-hebatnya dia dalam hal-hal itu, dia tetap adik saya. saya ingin
akademiknya sebagus ilmu agamanya,
Saya tidak mau dia bernasib sama dengan saya, berjuang mencari2
kuliah kesana kemari. Dan demi tujuan itu, saya merelakan semua organisasi yang
saya masuki. Anggota yang tidak aktiv itu pantas untuk saya. Saya sudah tidak
peduli apa kata orang. Diajak rapat, saya jarang datang, disuruh kumpul, saya
tidak datang.
Setiap minggu, atau kapanpun ada waktu luang, saya pergi ke
sekolah adik saya. sekolahnya hanya bisa dikunjungi jam 3 sampai stgh 6 sore
setiap hari. Sedangkan saya kuliah sampai setengah 5, perjalanan ke sana hampir
sejam. Hampir tidak mungkin untuk saya bisa sering ke sana. Tapi asal ada niat,
pasti ada jalan. Hari sabtu dan minggu saya berikan untuk adik saya, duduk di
sana beberapa jam, sekedar membagi ilmu yang beberapa sudah saya lupakan. Saya
harus membaca lagi buku-buku fisika, kimia, dan matematika. Biologi, rasanya
tidak terlalu mendesak. Adik saya sangat jago biologi. Dia bahkan lebih tau
biologi dari saya, dia bisa belajar sendiri tentang materi itu, sambil sesekali
memastikan apa yang dia pahami sesuai dengan apa yang saya pahami waktu SMA.
Semakin dekat ujian nasionalnya, frekuensi saya ke sana semakin
besar. Saya harus lebih mengorbankan waktu istirahat saya untuk dia. Setiap ada
jadwal yang membuat saya pulang lebih awal, saya berusaha ke sana. Tidak punya
kendraan bukan halangan. Ada angkot dan ojek yang bisa membuat saya bisa ada di
sana. Taksi? Astaga mahasiswa kasian.. itu akan jadi pilihan paling terakhir
kalo ojek dan angkot sudah tidak ada.
Lagi-lagi saya membuktikan bahwa tidak ada usaha yang sia-sia.
Nilainya mungkin tidak setinggi yang sama-sama kami targetkan, tapi paling
tidak ada rasa puas melihatnya tersenyum dengan hasil yang sudah dia capai.
Saya Cuma selalu menekankan padanya apa yang selalu ditekankan guru2 SMA saya,
apapun hasilnya, itu harus hasil kita sendiri. Tak ada harganya nilai 10 atau
100 kalau itu hasil orang lain. Dan saya bersyukur, dia juga menanamkan itu di
ujiannya.
Di penghujung tahun kedua itu juga saya berusaha sekuat tenaga
membagi waktu dan pikiran saya, setelah adik saya lulus, dia tinggal di kosan
saya. memang setiap kami bersama selalu ada pertengkaran kecil yang tidak
pernah hilang dari kecil. Tapi 5 menit kemudian, pasti baikan, karna sedewasa
apapun, kami masihlah kakak beradik yang selalu seperti itu,, X_X
Singkat cerita, dia mengikuti bimbingan belajar, berusaha sekuat
tenaga. Dan sangat bersemangat.
Tapi Allah berencana lain, lagi-lagi membuktikan bahwa rencana-Nya
jauh lebih indah dari apa yang direncanakan mahluknya.
SNMPTN undangan dia tidak tembus, SNMPTN tulis juga tidak, Jalur
mandiri pun tidak..
Terkadang saya mendapatinya menangis sendiri, kecewa mungkin
dengan usahanya yang sedemikian keras tapi tak kunjung berbuah manis. Saya cuma
berusaha meyakinkannya kalo Allah tidak pernah sekalipun meninggalkan hambanya.
Pasti ada rencana lain yang sudah dipersiapkan dan pasti itu yang terbaik.
Jujur, Saya pun sendiri sedih, merasa gagal menjadi seorang kakak, menyesal,
menganggap usaha saya selama ini tak berlangsung sesuai apa yang saya harapkan
dan saya rencanakan. Tapi jika saya menampakkannya di hadapannya, suasana bisa
semakin kacau. Masih ada kesempatan di universitas swasta, ya meskipun dengan
biaya yang tak semurah universitas tempat saya kuliah.
Libur semester 4. Saya berlibur ke jogja, dan merasa bahwa kota
pelajar adalah gelar yang cocok untuk kota itu. Mengusulkan kepada orang tua
saya untuk mendaftarkan adik saya di sana. Orang tua saya setuju..
Subhanallah, tidak lolos juga. 2 universitas dan itu juga nda lolos.
Sebenarnya ada beberapa tawaran untuk membantu ‘melicinkan’ jalan, tapi saya
berusaha meyakinkan adik saya bahwa hal-hal seperti itu tidak terlalu baik,
masih banyak jalan menuju roma bukan?
Masih ada gelombang ketiga di univ swasta di sana, tapi kebetulan
bertepatan dengan tes salah satu univ di Makassar. Peluang di Makassar jauh
lebih besar, tentu saja orang tua menyuruhnya segera balik, test di Makassar.
Memang Allah selalu menjanjikan hal baik untuk hambanya yang
bersabar.
Beberapa hari sebelum balik ke Makassar, adik saya dinyatakan
lolos di universitas swasta di Makassar. FK berakreditasi B, sudah lumayan lah,
sama dengan salah satu univ yang dia kejar di kota pelajar ini. Hatinya mulai
tenang, dia selalu tersenyum kepada semua orang. Meskipun dia tidak menjadi junior di univ saya, saya masih bersyukur, dia
menjadi junior di fakultas yang sama di kota yang sama dengan saya.
Tiket sudah di pesan, pendaftaran sudah dibayar.. adik saya tetap
ingin melaksanakan testnya, berprinsip seperti saya 2 tahun lalu, sekedar
membuktikan kepada diri sendiri bahwa kita sebenarnya tidak bodoh, hanya
kebetulan yang sebelum-sebelumnya itu ‘belum rezeki’
Hari dimana dia test di salah satu univ itu tiba. Jam 10 saya
sudah turun dengannya, berpakaian seperti biasa. Sampai di tempat test,
ternyata pengantar hanya bisa sampai dipagar. Astaga. Demi apa. Saya sudah
serapi ini dan harus menunggu di depan pagar sampai dia selesai. Karna tentu
saya tidak tega meninggalkannya sendiri di sini. Berpikir untuk pulang dulu
lalu menjemputnya setengah 5? Ah itu tidak masuk di pikiran saya. Jalan
Alauddin dan unhas, hmm lumayan jauh ya. Naik kendraan umum dan macet. Lebih
baik saya menunggu saja sampai adik saya selesai test. Ini bukan lokasi yang
saya kuasai. Daripada saya jalan-jalan dan tersesat, haha.. jadi lebih baik
saya menunggu..
Itu kali pertama dalam sejarah saya sebagai mahasiswa, duduk di
bawah baliho (sekedar berlindung dari panas matahari) beralaskan kertas yang
saya tidak tau itu bekas kertas apa, di taman kecil depan universitas, ternyata
menunggu sampai setengah lima. Saya tidak seorang diri, berkenalan dengan
beberapa orang yang bernasib sama dengan saya. Kalau bukan karna dia adik saya
mungkin saya sudah pulang haha..
2 hp yang saya bawa semuanya lowbat, seperti pemiliknya. Mau makan
saja saya tidak tau harus ke mana. Untung saya sempat menyelipkan botol air di
tas sebelum berangkat ke sini. Shalat, astaghfirullah, sy terpaksa menjamaknya.
Pakaian saya mgkn sudah kotor karna saya sendiri tidak tau duduk di tempat bersih
atau kotor, dan masjid dalam universitasnya, pak satpamnya janji akan
membukakan pagar saat azan dzuhur dikumandangkan, tapi tentu saja, itu seperti
janji politik yang hanya manis di awal, pahit di pertengahan. -_-
Setelah pulang, saya diberitahu adik saya bahwa untuk fk, msh ada
test kepribadian, harus membayar 350rb lagi, saya langsung menahannya,
menyuruhnya berpikir kembali. Bukankah itu sama dengan membuang uang untuk hal
yang sudah pasti tidak kita ambil? Saya tau dia juga sadar akan hal itu. Dia
adik saya, saya kakaknya, hampir semua yang saya katakan akan dia pikirkan
baik-baik :p
Libur tahun ke dua memang cukup panjang, terpanjang mungkin.. tapi
saya hanya merasakan 2 minggu saja di rumah, 2 minggu rasanya kurang, berkumpul
dengan keluarga yang selalu saya rindukan. Tapi ada kepuasan sendiri untuk
saya. paling tidak adik saya juga sudah berstatus sama dengan saya, mahasiswa
fk.. yah meskipun saya dan dia harus berbeda warna almamaternya.
Tahun ke tiga adalah tahun terakhir saya sebagai mahasiswa
preklinik (semoga, amiin). Saya harus berusaha mengejar gelar sarjana, yang
saya sendiri baru tau setelah jadi mahasiswa, kalo ada gelar S.Ked sebelum
gelar dr. Semoga saya bisa meraihnya sesegera mungkin.. Allahumma amin
Cita – cita saya sederhana, mengejar mimpi saya, mewujudkannya,
membuat orang tua bahagia dan menjadikan adik-adik saya jauh lebih baik
daripada saya.
-----
Mungkin Allah merencanakan hal-hal baik di tengah hal buruk yang
menimpa kita. Husnudzon, berbaik sangka lah kepada pencipta kita.
Saya bukan ahli agama, saya hanya berusaha menyampaikan pengalaman
saya, pengalaman yang meyakinkan saya bahwa Kuasa Allah jauh lebih besar
daripada segalanya. Allah Maha Mendengar doa hambanya, memberikan rencana
terbaik menurutNya.. Mudah saja bagiNya mewujudkan apa yang kita minta, tapi
bisa jadi sesuatu yang menurut kita baik, belum tentu yang terbaik untuk kita.
--
Waaah sudah panjang ya ternyata. Saya mungkin penulis berbakat
yang belum menemukan kelebihan tulisannya ada di mana. Haha -_-
Terima kasih sudah membaca tulisan ini, tulisan yang harus dibaca
pakai mata hati dan dicerna oleh hati *tssaah
setiap kebenaran datang dari Allah, dan kalau ada salah-salah
kata, itu mutlak kesalahan saya. tapi kalau anda salah baca, mungkin itu
halusinasi semata :p
Terima kasih atas mata anda yang berakomodasi cukup lama untuk
membaca tulisan ini, trima kasih juga untuk penemu listrik, leptop, dan
internet sehingga tulisan ini bisa ada di blog yang sudah berdebu dan penuh
dengan sarang laba-laba ini..
Sampai jumpa di tulisan-tulisan saya selanjutnya haha.. sory
bahasa Indonesia agak sedikit kacau. Lagi ada virus vickynisasi di Indonesia
soalnya :p
Jangan bosan yaa.. see ya and babay~
Makassar.1.10.2013
Yayu H.