Pages

Sepenggal Kisah tentang Perjuangan

Tuesday, October 1, 2013


Akhirnya bs ngeblog lagi.
ini tulisan yang cukup panjang, balas dendam, setelah sekian lama. 
Harap maklum. haha
---
Menjadi mahasiswa 'calon' pengguna jas putih.

Ini hanya sepenggal perjalanan salah satu mahasiswa yang kebetulan sedang menapaki jalan panjang di dunia kedokteran.

Merah ke putih untuk merah putih. Saya meminjam kalimat teman saya yang saya dengar di tahun pertama kuliah saya di fakultas itu. Saat itu sebagai mahasiswa baru kami diminta memberikan usulan tagline untuk inaugurasi yang kebetulan lagi saya masuk ke kepanitiaan itu. Cukup lama saya memikirkan kalimat itu sampai mengerti dengan benar apa arti dari kalimat itu. 

Merah melambangkan warna almamater unhas yang kebetulan lagi menjadi tempat saya memperjuangkan mimpi saya, putih melambangkan jas putih yang dengan susah payah sedang kami perjuangkan, dan merah putih lambang bendera dimana akhirnya tempat kami berjuang setelah mimpi saya tercapai ya intinya Indonesia lah ya.. 

Sudah 2 tahun saya menyandang ‘gelar’ mahasiswa kedokteran. Mahasiswa di fakultas yang katanya menjadi impian banyak orang pintar. Saya pun tidak terlalu pintar. Otak IQ standar saja lah,, ya meskipun sampai hari ini saya belum pernah mendapat angka pasti dari hasil test yang beberapa kali saya lakukan.

 Menjadi mahasiswa kedokteran tidaklah seindah yang orang pikirkan, dan tidak sesuram yang orang katakan. Pulang ke kampung halaman, ditanyakan seputar penyakit yang bahkan beberapa belum pernah dikuliahkan, ditanyakan obat yang saya sendiri masih bertanya ke orang tua saya, dan bahkan ditanyakan menu makanan yang menjadi pantangan bagi mereka.

Dicap ‘pintar’ karena bisa tembus fakultas kedokteran univ negri pula. Padahal mereka tidak tau, jika saja saya putus asa di SNMPTN mungkin saja saya sekarang tidak beralmamater merah. Ada campur tangan Tuhan di Sini, yang dengan agung saya agung-agungkan beliau.. Allahu akbar.. 
Saya Cuma yakin, doa orang tua selalu di ijabah, melebihi doa saya. Allah tidak akan membiarkan hambanya yang bermohon dan berusaha.

Berusaha. Ya berusaha. Betapa hancurnya saya saat pengumuman SNMPTN itu menjadikan saya satu2nya orang yg tidak lulus diantara teman2 saya yg kebetulan waktu itu sedang les bahasa inggris di pare, Kediri. Saya merasa doa saya tidak diijabah, padahal siang malam bahkan tengah malam selama berbulan bulan saya berdoa dengan kalimat yang hampir sama “luluskanlah saya di SNMPTN nanti ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk saya” . saya hanya ingat kalimat pertama, saya lupa ada kalimat kedua yang selalu juga saya ucapkan. Malam itu saya merasakan titik kehancuran dalam hidup saya. ini tidak lebay. Saya menuliskan ini dengan sadar, dan tanpa melebih-lebihkan.

Malam itu saya tidur setelah menangis hampir 3 jam, menangis sendiri di aula besar di samping kamar asrama les saya. mungkin memang saya butuh jatuh untuk merasakan bagaimana bahagianya bangkit itu. Sejak saat itu saya berjanji untuk serius belajar. Hanya tinggal tersisa sebulan lebih untuk bs mendapatkan kesempatan menjadi mahasiswa di fakultas impian saya tahun ini.

Singkat cerita, rencana Allah memang selalu lebih indah dari rencana kita, mahluknya.

Saya jauh dari orang tua. Makassar adalah tempat transit semua jurusan semua pesawat dari kampung halaman saya. setiap kali orang tua berangkat kemanapun, mereka selalu transit di kota ini. Kalau saja sy kuliah di kota lain, mgkin saya harus menahan rasa rindu lebih lama untuk sekedar mencium tangan beliau2, orang yang selalu ingin saya lihat senyumannya. Akhirnya saya kuliah di kota ini. Memang saya masuk dengan jalur mandirinya, tapi semahal-mahalnya jalur mandirninya, ini adalah jalur mandiri paling murah yang saya temui di Indonesia.

Tahun pertama adalah tahun penuh perjuangan. Tahun dimana saya harus beradaptasi dengan bahasa yang sejujurnya membuat saya sering ditertawakan. Salah logat, kadang membuat saya memilih diam meskipun sebenarnya saya ingin berbicara. Tapi Alhamdulillah, lama kelamaan saya bisa beradaptasi, karna tidak ada pilihan lain.

Ada beberapa kata yang harus saya sesuaikan, misalnya kata ‘kita’. Kita di daerah asal saya artinya saya, sedangkan di sini artinya kamu. ‘Kau’ di tempat saya dianggap sopan, sedangkan di sini kau itu tidak terlalu sopan. Saya pun harus menghilangkan logat bawaan saya yang 17 tahun lebih saya gunakan.

Bukan sekedar beradaptasi dengan logat, saya juga harus beradaptasi dengan kehidupan jauh dengan orang tua. Semua keperluan ospek harus saya sediakan sendiri, tak ada satupun keluarga saya di kota ini. saya sudah terbiasa jauh dari orang tua. Tapi belum terbiasa mencari segala sesuatu sendirian. Untunglah ada teman sy yang kebetulan dari SMA sekelas dengan saya. kami bernasib sama, sama-sama maba. Haha

Tahun kedua juga penuh perjuangan, tapi mungkin tidak sepadat tahun pertama. Bukan santai, hanya saja mungkin sudah terbiasa dengan segala jenis kegiatan. Saya pun punya agenda khusus yang saya letakkan nomor dua di skala prioritas saya setelah kuliah,, Membuat adik saya menjadi junior saya.

Oh iya, perkenalkan, adik saya. namanya sri n. h. (*nama di samarkan. haha). Saya hanya berbeda 2 tahun 2 bulan dengan dia. Tuhan memang adil, memberikan nikmat estetika lebih kepadanya, dan memberikan sy otak yang ‘sedikit sekali’ lebih encer daripadanya. Kami berdua sama-sama sadar akan hal itu. Dan saya tidak malu, begitupun saya meyakinkan dia untuk tidak mengeluh atas apa yang sudah ada. Bukankah sebagai ciptaanNya, kita harus selalu bersyukur dengan apa yang sudah diberikan?

Saya tidak mengatakan bahwa saya lebih pintar dari dia, hanya saja takdir mengantarkan saya pada pemahaman yang lebih atas beberapa hal yang kebetulan kurang dikuasainya. Tahun kedua kuliah saya saya fokuskan untuk mengurus adik saya, tanpa mengesampingkan kuliah yang menjadi alasan saya ada di kota ini. Kebetulan dia setahun lebih dulu ada di sini, memilih pilihannya sendiri saat kebetulan dia belum lolos di SMA saya. pilihan yang cukup bijak menurut saya. jauh jauh ke kota orang, padahal dia tau benar tidak ada keluarga di sini, dan memilih masuk ke sekolah berasrama yang khusus putri. Menjadi anak baru (karna pesantren, 6 tahun, dia masuk kelas 4), tentu perjuangannya di tahun pertama di kota ini lebih berat dari saya karna harus berjuang agar bisa di ‘terima’ oleh teman2 yang notabenenya sudah lebih dulu 3 tahun di sekolah itu.

Tahun kedua bagi saya, berarti tahun ke tiga untuk adik saya. dia akan menghadapi ujian nasional. Ujian yang maaf saja, dulu di SMA saya jauh lebih gampang dari ujian semesternya, tapi tidak berlaku untuk adik saya. Sekali lagi, saya dan adik saya sadar betul akan hal itu. Sebagaimana label pesantren yang beredar di masyarakat, akhlak dan kebiasaanya akan baik, tapi mungkin akademiknya tidak sebaik akhlaknya. Saya pun sedikit setuju dengan statement ini. Adik saya semacam OSIS, bagian bahasa, berbahasa arab dan inggris dengan fasih, shalat bahkan sunnah yang saya sendiri jarang melaksanakannya, puasa rajin bahkan yang saya sendiri lupa apa alasannya puasa, tapi sehebat-hebatnya dia dalam hal-hal itu, dia tetap adik saya. saya ingin akademiknya sebagus ilmu agamanya,

Saya tidak mau dia bernasib sama dengan saya, berjuang mencari2 kuliah kesana kemari. Dan demi tujuan itu, saya merelakan semua organisasi yang saya masuki. Anggota yang tidak aktiv itu pantas untuk saya. Saya sudah tidak peduli apa kata orang. Diajak rapat, saya jarang datang, disuruh kumpul, saya tidak datang.

Setiap minggu, atau kapanpun ada waktu luang, saya pergi ke sekolah adik saya. sekolahnya hanya bisa dikunjungi jam 3 sampai stgh 6 sore setiap hari. Sedangkan saya kuliah sampai setengah 5, perjalanan ke sana hampir sejam. Hampir tidak mungkin untuk saya bisa sering ke sana. Tapi asal ada niat, pasti ada jalan. Hari sabtu dan minggu saya berikan untuk adik saya, duduk di sana beberapa jam, sekedar membagi ilmu yang beberapa sudah saya lupakan. Saya harus membaca lagi buku-buku fisika, kimia, dan matematika. Biologi, rasanya tidak terlalu mendesak. Adik saya sangat jago biologi. Dia bahkan lebih tau biologi dari saya, dia bisa belajar sendiri tentang materi itu, sambil sesekali memastikan apa yang dia pahami sesuai dengan apa yang saya pahami waktu SMA.

Semakin dekat ujian nasionalnya, frekuensi saya ke sana semakin besar. Saya harus lebih mengorbankan waktu istirahat saya untuk dia. Setiap ada jadwal yang membuat saya pulang lebih awal, saya berusaha ke sana. Tidak punya kendraan bukan halangan. Ada angkot dan ojek yang bisa membuat saya bisa ada di sana. Taksi? Astaga mahasiswa kasian.. itu akan jadi pilihan paling terakhir kalo ojek dan angkot sudah tidak ada.

Lagi-lagi saya membuktikan bahwa tidak ada usaha yang sia-sia. Nilainya mungkin tidak setinggi yang sama-sama kami targetkan, tapi paling tidak ada rasa puas melihatnya tersenyum dengan hasil yang sudah dia capai. Saya Cuma selalu menekankan padanya apa yang selalu ditekankan guru2 SMA saya, apapun hasilnya, itu harus hasil kita sendiri. Tak ada harganya nilai 10 atau 100 kalau itu hasil orang lain. Dan saya bersyukur, dia juga menanamkan itu di ujiannya.

Di penghujung tahun kedua itu juga saya berusaha sekuat tenaga membagi waktu dan pikiran saya, setelah adik saya lulus, dia tinggal di kosan saya. memang setiap kami bersama selalu ada pertengkaran kecil yang tidak pernah hilang dari kecil. Tapi 5 menit kemudian, pasti baikan, karna sedewasa apapun, kami masihlah kakak beradik yang selalu seperti itu,, X_X
Singkat cerita, dia mengikuti bimbingan belajar, berusaha sekuat tenaga. Dan sangat bersemangat.

Tapi Allah berencana lain, lagi-lagi membuktikan bahwa rencana-Nya jauh lebih indah dari apa yang direncanakan mahluknya.

SNMPTN undangan dia tidak tembus, SNMPTN tulis juga tidak, Jalur mandiri pun tidak..

Terkadang saya mendapatinya menangis sendiri, kecewa mungkin dengan usahanya yang sedemikian keras tapi tak kunjung berbuah manis. Saya cuma berusaha meyakinkannya kalo Allah tidak pernah sekalipun meninggalkan hambanya. Pasti ada rencana lain yang sudah dipersiapkan dan pasti itu yang terbaik. Jujur, Saya pun sendiri sedih, merasa gagal menjadi seorang kakak, menyesal, menganggap usaha saya selama ini tak berlangsung sesuai apa yang saya harapkan dan saya rencanakan. Tapi jika saya menampakkannya di hadapannya, suasana bisa semakin kacau. Masih ada kesempatan di universitas swasta, ya meskipun dengan biaya yang tak semurah universitas tempat saya kuliah.

Libur semester 4. Saya berlibur ke jogja, dan merasa bahwa kota pelajar adalah gelar yang cocok untuk kota itu. Mengusulkan kepada orang tua saya untuk mendaftarkan adik saya di sana. Orang tua saya setuju..
Subhanallah, tidak lolos juga. 2 universitas dan itu juga nda lolos. Sebenarnya ada beberapa tawaran untuk membantu ‘melicinkan’ jalan, tapi saya berusaha meyakinkan adik saya bahwa hal-hal seperti itu tidak terlalu baik, masih banyak jalan menuju roma bukan?

Masih ada gelombang ketiga di univ swasta di sana, tapi kebetulan bertepatan dengan tes salah satu univ di Makassar. Peluang di Makassar jauh lebih besar, tentu saja orang tua menyuruhnya segera balik, test di Makassar.
Memang Allah selalu menjanjikan hal baik untuk hambanya yang bersabar.

Beberapa hari sebelum balik ke Makassar, adik saya dinyatakan lolos di universitas swasta di Makassar. FK berakreditasi B, sudah lumayan lah, sama dengan salah satu univ yang dia kejar di kota pelajar ini. Hatinya mulai tenang, dia selalu tersenyum kepada semua orang. Meskipun dia tidak menjadi junior di univ saya, saya masih bersyukur, dia menjadi junior di fakultas yang sama di kota yang sama dengan saya.

Tiket sudah di pesan, pendaftaran sudah dibayar.. adik saya tetap ingin melaksanakan testnya, berprinsip seperti saya 2 tahun lalu, sekedar membuktikan kepada diri sendiri bahwa kita sebenarnya tidak bodoh, hanya kebetulan yang sebelum-sebelumnya itu ‘belum rezeki’

Hari dimana dia test di salah satu univ itu tiba. Jam 10 saya sudah turun dengannya, berpakaian seperti biasa. Sampai di tempat test, ternyata pengantar hanya bisa sampai dipagar. Astaga. Demi apa. Saya sudah serapi ini dan harus menunggu di depan pagar sampai dia selesai. Karna tentu saya tidak tega meninggalkannya sendiri di sini. Berpikir untuk pulang dulu lalu menjemputnya setengah 5? Ah itu tidak masuk di pikiran saya. Jalan Alauddin dan unhas, hmm lumayan jauh ya. Naik kendraan umum dan macet. Lebih baik saya menunggu saja sampai adik saya selesai test. Ini bukan lokasi yang saya kuasai. Daripada saya jalan-jalan dan tersesat, haha.. jadi lebih baik saya menunggu..

Itu kali pertama dalam sejarah saya sebagai mahasiswa, duduk di bawah baliho (sekedar berlindung dari panas matahari) beralaskan kertas yang saya tidak tau itu bekas kertas apa, di taman kecil depan universitas, ternyata menunggu sampai setengah lima. Saya tidak seorang diri, berkenalan dengan beberapa orang yang bernasib sama dengan saya. Kalau bukan karna dia adik saya mungkin saya sudah pulang haha..

2 hp yang saya bawa semuanya lowbat, seperti pemiliknya. Mau makan saja saya tidak tau harus ke mana. Untung saya sempat menyelipkan botol air di tas sebelum berangkat ke sini. Shalat, astaghfirullah, sy terpaksa menjamaknya. Pakaian saya mgkn sudah kotor karna saya sendiri tidak tau duduk di tempat bersih atau kotor, dan masjid dalam universitasnya, pak satpamnya janji akan membukakan pagar saat azan dzuhur dikumandangkan, tapi tentu saja, itu seperti janji politik yang hanya manis di awal, pahit di pertengahan. -_-

Setelah pulang, saya diberitahu adik saya bahwa untuk fk, msh ada test kepribadian, harus membayar 350rb lagi, saya langsung menahannya, menyuruhnya berpikir kembali. Bukankah itu sama dengan membuang uang untuk hal yang sudah pasti tidak kita ambil? Saya tau dia juga sadar akan hal itu. Dia adik saya, saya kakaknya, hampir semua yang saya katakan akan dia pikirkan baik-baik :p

Libur tahun ke dua memang cukup panjang, terpanjang mungkin.. tapi saya hanya merasakan 2 minggu saja di rumah, 2 minggu rasanya kurang, berkumpul dengan keluarga yang selalu saya rindukan. Tapi ada kepuasan sendiri untuk saya. paling tidak adik saya juga sudah berstatus sama dengan saya, mahasiswa fk.. yah meskipun saya dan dia harus berbeda warna almamaternya.

Tahun ke tiga adalah tahun terakhir saya sebagai mahasiswa preklinik (semoga, amiin). Saya harus berusaha mengejar gelar sarjana, yang saya sendiri baru tau setelah jadi mahasiswa, kalo ada gelar S.Ked sebelum gelar dr. Semoga saya bisa meraihnya sesegera mungkin.. Allahumma amin

Cita – cita saya sederhana, mengejar mimpi saya, mewujudkannya, membuat orang tua bahagia dan menjadikan adik-adik saya jauh lebih baik daripada saya.

-----

Mungkin Allah merencanakan hal-hal baik di tengah hal buruk yang menimpa kita. Husnudzon, berbaik sangka lah kepada pencipta kita.

Saya bukan ahli agama, saya hanya berusaha menyampaikan pengalaman saya, pengalaman yang meyakinkan saya bahwa Kuasa Allah jauh lebih besar daripada segalanya. Allah Maha Mendengar doa hambanya, memberikan rencana terbaik menurutNya.. Mudah saja bagiNya mewujudkan apa yang kita minta, tapi bisa jadi sesuatu yang menurut kita baik, belum tentu yang terbaik untuk kita.

--

Waaah sudah panjang ya ternyata. Saya mungkin penulis berbakat yang belum menemukan kelebihan tulisannya ada di mana. Haha -_-

Terima kasih sudah membaca tulisan ini, tulisan yang harus dibaca pakai mata hati dan dicerna oleh hati *tssaah

setiap kebenaran datang dari Allah, dan kalau ada salah-salah kata, itu mutlak kesalahan saya. tapi kalau anda salah baca, mungkin itu halusinasi semata :p

Terima kasih atas mata anda yang berakomodasi cukup lama untuk membaca tulisan ini, trima kasih juga untuk penemu listrik, leptop, dan internet sehingga tulisan ini bisa ada di blog yang sudah berdebu dan penuh dengan sarang laba-laba ini..

Sampai jumpa di tulisan-tulisan saya selanjutnya haha.. sory bahasa Indonesia agak sedikit kacau. Lagi ada virus vickynisasi di Indonesia soalnya :p

Jangan bosan yaa.. see ya and babay~

Makassar.1.10.2013
Yayu H.

No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS