Pages

Modul batuk

Wednesday, February 20, 2013


Skenario 1
Seorang laki – laki 25 tahun, mahasiswa kedokteran, datang ke dokter pembimbingnya untuk menyampaikan kalau ia tidak dapat mengikuti kegiatan di RS karena sakit sekaligus untuk konsultasi tentang penyakitnya. Ia mengeluh batuk berdahak yang hebat warna mukoid, kadang kuning, pilek dan disertai demam yang hilang timbul dialaminya sudah 10 hari. Selain itu ia juga mengeluh sakit kepala terutama pagi hari, myalgia, anoreksia, dan kadang – kadang diare. Suhunya mencapai 38, 5˚C, denyut nadi 100X/menit, tensi 115/70 mmHg, dan pernapasannya 20X/menit. Sebelumnya ia juga pernah menderita batuk dan beringus tapi sudah agak baikan setelah minum obat antitusif dan antibiotic. Ini dialaminya 1 bulan sebelum sakit yang sekarang dideritanya.
Kata Sulit
1.      Mukoid

Kata Kunci
1.      Laki – laki umur 25 tahun
2.      Batuk berdahak mukoid, kadang kuning
3.      Demam hilang timbul selama 10 hari
4.      Sakit kepala pagi hari
5.      Myalgia
6.      Anorexia
7.      Kadang diare
8.      Suhu 38,5 ˚C
9.      Denyut nadi 100X/menit
10.  Pernapasan 20X/menit
11.  Riwayat minum obat antitusif dan antibiotik
Pertanyaan
1.      Bagaimana patomekanisme dari:
a.       Batuk berdahak
b.      Demam
c.       Sakit kepala pagi hari
d.      Anorexia
e.       Myalgia
f.       Pilek
g.      Diare
2.      Bagaimanakah hubungan riwayat penyakit terdahulu dengan penyakit sekarang?
3.      Apa saja diferensial diagnosisnya?
4.      Apa saja anamnesis tambahan dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan?
5.      Bagaimanakah penatalaksanaannya?
Jawaban
1.      Patofisiologi dari:
a.       Batuk berdahak
Infeksi ataupun iritasi pada saluran nafas akan menyebabkan hipersekresi mukus pada saluran napas besar, hipertropi kelenjar submukosa pada trakea dan bronki. Ditandai juga dengan peningkatan sekresi sel goblet di saluran napas kecil, bronki dan bronkiole, menyebabkan produksi mukus berlebihan, sehingga akan memproduksi sputum yang berlebihan. Kondisi ini kemudian mengaktifkan rangsang batuk dengan tujuan untuk mengeluarkan benda asing yang telah mengiritasi saluran nafas. Jadi batuk berdahak terjadi reaksi pertahanan tubuh.

b.      Demam
Substansi penyebab demam disebut pirogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh, baik dari produk proses infeksi maupun non infeksi. Lipopolysaccharyde (LPS) pada dinding bakteri gram negatif atau peptidoglikan dan teichoic acid pada bakteri gram positif, merupakan pirogen eksogen. Substansi ini merangsang makrofag, monosit, limfosit, dan endotel untuk melepaskan IL1, IL6, TNF-α, dan IFN-α, yang bertindak sebagai pirogen endogen.8,12,14 Sitokinsitokin proinflamasi ini akan berikatan dengan reseptornya di hipotalamus dan fofsolipase-A2. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan asam arakidonat dari membran fosfolipid atas pengaruh enzim siklooksigenase-2 (COX-2). Asam arakidonat selanjutnya diubah menjadi prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 baik secara langsung maupun melalui adenosin monofosfat siklik (c-AMP), akan mengubah setting termostat (pengatur suhu tubuh) di hipotalamus pada nilai yang lebih tinggi. Selanjutnya terjadi peningkatan produksi dan konservasi panas sesuai setting suhu tubuh yang baru tersebut. Hal ini dapat dicapai melalui refleks vasokonstriksi pembuluh darah kulit dan pelepasan epinefrin dari saraf simpatis, yang menyebabkan peningkatan metabolisme tubuh dan tonus otot. Suhu inti tubuh dipertahankan pada kisaran suhu normal, sehingga penderita akan merasakan dingin lalu menggigil dan menghasilkan panas.
c.       Sakit kepala pagi hari
Pasien pada kasus tersebut mengalami sakit kepala pada pagi hari karena vasodilatasi pembuluh darah otak. Vasodilatasi ini sendiri terjadi akibat adanya obstruksi saluran napas oleh dahak yang terakumulasi selama malam hari. Obstruksi ini mengakibatkan tubuh kekurangan O2. Karena tubuh terutama otak sangat membutuhkan O2, sebagai kompensasinya pembuluh darah otak mengalami vasodilatasi untuk meningkatkan dsitribusi O2. Namun hal ini berakibat pada penekanan reseptor nyeri sehingga timbul sakit kepala.
d.      Anorexia dan diare
Pada sejumlah kasus tertentu, tertelannya bakteri yang menginfeksi saluran nafas dapat ikut mempengaruhi organ gastrointestinal. Sehingga gejala diare dan pengurangan berat badan biasanya menjadi salah satu manifestasi klinik penyakit saluran nafas.
Pada infeksi saluran nafas, sekresi mucus meningkat dengan tujuan untuk mengeluarkan agen penginfeksi. Terkadang, dahak yang harusnya dikeluarkan ternyata masuk di saluran pencernaan. Bakteri yang masuk ini kemudian mengeluarkan sejumlah enzim yang merusak mucosa dan vili-vili usus yang berakibat pada menurunnya absorpsi sari makanan. Proses ini memicu timbulnya diare sebagai salah satu mekanisme tubuh untuk mengeluarkan agen penginfeksi.
e.       Myalgia
Myalgia pada pada pasien merupakan akibat dari rangkaian kompensasi tubuh atas kurangnya O2 pada jaringan tubuh. Pada saat tubuh kekurangan O2 secara otomatis, proses oksidasi jaringan tubuh mengalami perubahan dari proses aerob menjadi anaerob. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan energy yang sngat dibutuhkan untuk proses metabolisme. Namun energy yang dihasilkan melalui proses ini menghasilkan produk sampingan berupa asam laktat. Produksi asam laktat yang berlebihan dalam jaringan tubuh menimbulkan rasa nyeri pada otot.



2.      Hubungan riwayat penyakit terdahulu dan sekarang
Berdasarkan skenario, ada 2 kemungkinan yang dapat menjelaskan hubungan penyakit terdahulu dengan yang sekarang.
Kemungkinan pertama. Penyakit yang sekarang merupakan perjalanan dari penyakit terdahulu yang semakin memburuk akibat tidak mendapatkan terapi yang adekuat.
Kemungkinan kedua. Penyakit yang sekarang tidak ada hubungannya dengan penyakit terdahulu. Namun penyakit terdahulu merupakan factor predisposisi timbulnya penyakit yang sekarang.

3.      Diferensial Diagnosis dan Penatalaksanaan
a.       Pneumonia
Definisi.
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pada pemeriksaan histologis terdapat pneumonitis  atau reaksi inflamasi berupa alveolitis dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi.
Pneumonia di sebabkan oleh beberapa mikooganisme seperti virus, bakteri, parasit dan fungi.
Adapun cara mikroorganisme itu sampai ke paru-paru bisa melalui :
1.         Inhalasi (penghirupan) mikroorgnisme dari udara yang tercemar
2.         Aliran darah dari infeksi di organ tubuh yang lain
3.         Migrasi (perpindahan) organisme langsung dari infeksi di dekat paru-paru.
Yang lebih jarang, bakteri dapat mencapai parenkim paru melalui aliran darah dari bagian ekstrapulmonal (khususnya stafilokokus) ataupun dari penggunaan obat intravena.
Pneumonia di bagi menjadi dua jenis berdasarkan asal penyakit itu didapat. Apabila penyakit itu didapat di masyarakat, maka dikenal dengan istilah pneumonia komunitas atau community acquired pneumonia dan pneumonia nosokomial atau hospitality acquired pneumonia yang berarti penyakit itu didapat saat pasien berada di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan. Pneumonia yang didapat di rumah sakit cenderung bersifat lebih serius karena pada saat menjalani perawatan di rumah sakit, sistem pertahanan tubuh penderita untuk melawan infeksi seringkali terganggu. Selain itu, kemungkinan terjadinya infeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik lebih besar.
Diagnosis pneumonia harus didasarkan pada pengertian patogenesis penyakit hingga diagnosis yang dibuat mencakup bentuk manifestasi, beratnya proses penyakit dan etiologi pneumonia. Cara ini akan mengarahkan dengan baik kepada terapi empiris dan pemilihan antibiotik yang paling sesuai terhadap mikrooganisme penyebabnya.
Faktor-faktor resiko pneumonia antara lain : Usia yang ekstrem (sangat muda atau sangat tua), infeksi virus saluran nafas atas, merokok, penyalahgunaan etanol, kanker (khususnya kanker paru), penyakit kronis (misalnya diabetes militus, uremia), bedah abdomen atau toraks, dirawat di tempat tidur terlalu lama, Pipa endotrakeal atau trakostomi, fraktur tulang iga, terapi imunoupresif dan AIDS, malnutrisi, COPD dan aspirasi secret orofaringeal dll.
Etiologi.
Pada masa sekarang terjadi perubahan pola mikroorganisme penyebab ISNBA (Infeksi Saluran Napas Bawah Akut) akibat adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat hingga menimbulkan
perubahan karakteristik pada kuman. Etiologi pneumonia berbeda-beda pada berbagai tipe dari pneumonia, dan hal ini berdampak kepada obat yang akan di berikan. Mikroorganisme penyebab yang tersering adalah bakteri, yang jenisnya berbeda antar Negara, antara suatu daerah dengan daerah yang lain pada suatu Negara, diluar RS dan didalam RS. Karena itu perlu diketahui dengan baik pola kuman di suatu tempat.
Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi antara lain :
Bakteri
Agen penyebab pneumonia di bagi menjadi organisme gram-positif atau gram-negatif seperti : Steptococcus pneumoniae (pneumokokus), Streptococcus piogenes, Staphylococcus aureus, Klebsiela pneumoniae, Legionella, hemophilus influenzae.
Virus
Influenzae virus, Parainfluenzae virus, Respiratory, Syncytial adenovirus, chicken-pox (cacar air), Rhinovirus, Sitomegalovirus, Virus herves simpleks, Virus sinial pernapasan, hantavirus.
Fungi
Aspergilus, Fikomisetes, Blastomises dermatitidis, histoplasma kapsulatum.
Selain disebabkan oleh infeksi, pneumonia juga bisa di sebabkan oleh bahan-bahan lain/noninfeksi :
1.         Pneumonia Lipid : Disebabkan karena aspirasi minyak mineral
2.         Pneumonia Kimiawi : Inhalasi bahan-bahan organik dan anorganik atau uap kimia seperti  berillium
3.         Extrinsik allergic alveolitis : Inhalasi bahan debu yang mengandung alergen seperti spora aktinomisetes termofilik yang terdapat pada ampas debu di pabrik gula
4.         Pneumonia karena obat : Nitofurantoin, busulfan, metotreksat
5.         Pneumonia karena radiasi
6.         Pneumonia dengan penyebab tak jelas.
Etiologi Pneumonia Komunitas
Pneumonia komunitas banyak disebabkan oleh bakteri gram positif (pneumonia tipik) dan dapat disebabkan juga oleh bakteri atipik (pneumonia atipik).seperti : Klebsiella pneumoniae, Streptococcus pneumoniae, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus haemoliticus, Enterobacter, dan Pseudomonas spp.
Etiologi pneumonia nosokomial
Bakteri adalah penyebab yang tersering dari PNO. Jenis kuman penyebab ditentukan oleh berbagai faktor antara lain berdasarkan imunitas pasien, tempat dan cara pasien terinfeksi. Kuman penyebab PNO sering berbeda jenisnya antara di ruangan biasa dengan ruangan perawatan intensif (ICU): infeksi melalui slang infus sering berupa Staphylococcus aureus sedangkan melalui ventilator Ps. aeruginosa dan Enterobacter. PNO bakteril dapat dibagi atas PNI onset awal dalam waktu kurang dari 3 hari yang sering pula didapat di luar RS, biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia (510%). M. catarr-halis (< 5%) dan H. influenza. PNO onset lanjut bila lebih dari 3 hari, Sering disebabkan oleh kuman Gr() aerob (60%) berupa K. Pneumonia. Entcrobacter spp, Serratia spp. P. aeruginosa: atau S. aureus ( 2025%). Kelompok kedua ini biasanya merupakan kuman yang resisten terhadap antibiotika. Kuman anaerob dapat ditemukan pada kedua kelompok (35%)(2) Akhir-akhir ini sejumlah kuman baru/oportunis telah menimbulkaninfeksi pada pasien dengan kekebalan tubuh yang rendah, misalnya Legionella, Chlamydia, Trachomatis, TB, M atypical, berbagai jenis jamur ( C. Albicans,Aspergillus fumigitus) dan virus.
Manifestasi klinis
Dapat berupa gambaran pneumonia bakteril akut yang di tandai oleh :
1.         Demam (390-40C) dan menggigil
2.         Batuk yang mengeluarkan dahak yang berwarna kuning, hijau, keperangan atau mungkin mengandung darah (mukus di keluarkan dari paru-paru)
3.         Sakit dada terutama saat batuk atau saat menarik nafas yang dalam
4.         Bernafas dengan cepat dan pendek, hilang selera makan/ perut meragam
5.         Berpeluh dan muka kelihatan merah dan batuk.
Penatalaksanaan
       Terapi pneumonia dilandaskan pada diagnosis berupa AB untuk mengeradikasi MO yang diduga sebagai kausalnya. Dalam pemakaian AB harus dipakai pola berfikir “Panca Tepat” yaitu diagnosis tepat, pilihan AB yang tepat  dan dosis yang tepat, dalam jangka waktu yang tepat dan pengertian patogenesis secara tepat. AB yang bermanfaat untuk mengobati kuman intraseluler seperti pada PA oleh kelompok M. Pneumonia adalah obat yang bisa berakumulasi intraseluler disamping ekstraseluler, seperti halnya obat golongan makrolid. 
Dapat dijumpai beberapa Pendekatan terapi :
a.         Anjuran American Thoracic Society
          ATS membagi PK untuk terapi empiris atas 4 kelompok berdasarkan usia,       adanya penyakit dasar dan tempat rawat pasien. Untuk PK <60 tahun, tanpa penyakit dasar dianjurkan sefalosporin generasi 2, betalaktam, antibetalaktamase atau makroid.
b.         Berdasarkan diagnosis empirik kuman penyebab

Dalam memilih AB untuk PK perlu diingat :
a.         Sebanyak 69-100% kuman penyebab PK berupa Hemophilus spp, Staphylococcus sp menghasilkan B laktamase
b.         Konsentrasi makrolide di jaringan dan paru lebih tinggi dari plasma hingga kadarnya dapat mencapi level yang cukup untuk mikroplasma, Hemophilus dan Staphylococcus. AB yang dipilih harus mencakup kedua tipe kuman, karena itu pada PK yang berobat jalan dapat digunakan makrolid.
b. Bronkhitis
Definisi
Bronkitis adalah suatu peradangan pada saluran bronkial atau bronki. Peradangan tersebut, disebabkan oleh virus, bakteri, merokok, atau polusi udara.
Bronkitis pada anak dapat merupakan akibat dari beberapa keadaan lain saluran pernafasan atas dan bawah, dan trakhea biasanya terlibat. Namun bronkitis dapat juga merupakan penyakit tersendiri.
Etiologi                                       
Virus merupakan penyebab tersering, misalnya Rhinovirus, Respiratory Sincytial Virus (RSV), Virus Influenza, Virus Para-influenza, Adenovirus dan Coxsackie virus. Bronkitis akut juga berhubungan dengan morbili, pertusis dan infeksi Mycoplasma pneumonia. Belum ada bukti yang meyakinkan bahwa bakteri lain merupakan penyebab primer bronkitis akut pada anak. Di lingkungan sosial ekonomi yang baik, jarang terdapat infeksi sekunder oleh bakteri.
Faktor Predisposisi
Alergi, cuaca, polusi udara dan infeksi saluran nafas atas kronik dapat memudahkan terjadinya bronkitis akut.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, menurut National Center for Health Statistics, kira-kira ada 14 juta orang menderita bronkitis. Lebih dari 12 juta orang menderita bronkitis akut pada tahun 1994, sama dengan 5% populasi Amerika Serikat. Di dunia bronkitis merupakan masalah dunia. Frekuensi bronkitis lebih banyak pada populasi dengan status ekonomi rendah dan pada kawasan industri. Bronkitis lebih banyak terdapat pada laki-laki dibanding wanita. Data epidemiologis di Indonesia sangat minim.
Patogenesis
Dua faktor utama yang menyebabkan bronkitis yaitu adanya zat-zat asing yang ada di dalam saluran napas dan infeksi mikrobiologi. Bronkitis kronik ditandai dengan hipersekresi mukus pada saluran napas besar, hipertropi kelenjar submukosa pada trakea dan bronki. Ditandai juga dengan peningkatan sekresi sel goblet di saluran napas kecil, bronki dan bronkiole, menyebabkan produksi mukus berlebihan, sehingga akan memproduksi sputum yang berlebihan.

Patofisiologi
Pada bronkitis terjadi penyempitan saluran pernapasan. Penyempitan ini dapat menyebabkan obstruksi jalan napas dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, disebabkan karena perubahan pada saluran pernapasan kecil, yang diameternya kurang dari 2 mm, menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan kadang-kadang terjadi obliterasi. Penyempitan lumen terjadi juga oleh metaplasia sel goblet. Saluran pernapasan besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus. Pada penderita bronkitis saat terjadi ekspirasi maksimal, saluran pernapasan bagian bawah paru akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Hal ini akan mengakibatkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang, sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran darah ke alveoli tidak merata. Timbul hipoksia dan sesak napas. Lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia. Terjadi hipertensi pulmonal yang dalam jangka lama dapat menimbulkan kor pulmonal.
Manifestasi Klinik
Pada umumnya manifestasi klinis dapat dibagi dalam beberapa stadium:
a. Stadium prodormal: 1-2 hari demam dan gejala saluran pernafasan bagian atas, gejala ini sering tak nyata
b. Stadium trakeobronkial: 4-6 hari, dengan demam, batuk mula-mula non produktif dan kemudian timbul ekspektorasi, demam biasanya tidak tinggi
c. Stadium rekonvalesen: panas turun, batuk berkurang, kemudian sembuh. Stadium ini dapat terjadi infeksi sekunder oleh bakteri.

Dengan demikian manifestasi klinis yang dijumpai pada penderita:
• Demam 37,8°C-39°C (jarang tinggi)
• Batuk, mula-mula kering dapat menjadi berdahak, pada anak besar sering purulen. Pada anak kecil usaha untuk mengeluarkan sekret yang lengket dan kental dapat merangsang muntah; sekret yang tertelan dapat menyebabkan muntah.
• Nyeri dada waktu batuk sering dikeluhkan oleh anak besar bila batuknya berat.
• Gejala rhinitis sebagai manifestasi pengiring.
• Faring hiperemis bisa juga tampak.
• Rhonki basah kasar merupakan tanda khas radang di bronkus; bila lendir banyak dan tidak terlalu lengket terdengar ronkhi basah kasar.


Penatalaksanaan

Berhubung penyebab terutama virus maka belum ada obat yang kausal. Antibiotika tidak ada gunanya. Obat panas, banyak minum terutam air dan buah-buahan sudah sangat memadai. Obat penekan batuk tidak boleh diberikan pada yang banyak lendir. Mukolitik tidak lebih baik daripada banyak minum.
Bila batuk tetap ada dan tidak ada tanda-tanda perbaikan setelah 2 minggu maka kemungkinan infeksi bakteri sekunder boleh dicurigai dan dapat diberikan antibiotika, asal sudah disingkirkan kemungkinan asma dan pertusis. Antibiotika yang dianjurkan adalah yang serasi untuk S. Pneumoniae dan H. Influenza sebagai bakateri penyerang sekunder misalnya amoxicilin, kotrimoksazol dan golongan makrolide. Berikan antibiotika tujuh sampai sepuluh hari dan bila tidak berhasil perlu dilakukan foto roentgen thorax untuk menyingkirkan kemungkinan kolaps paru segmental dan lober, benda asing dalam saluran nafas dan tuberkulosis.
Bila bronkitis akut terjadi berulang kali perlu diselidiki kemungkinan adanya kelainan saluran nafas, benda asing, bronkiektasis, definisiensi imunologis, hiperaktivitas bronkus dan ISNA atas yang belum teratasi.

c.       TBC
Sebagaimana juga halnya di negara-negara berkembang lain, tuberkulosis (TB) di Indonesia masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama. WHO memperkirakan adanya 20 juta kasus di seluruh dunia, dengan angka kematian sebesar 3 juta pertahun, 80% diantaranya meninggal di negara berkembang. Dilaporkan bahwa insidensi penyakit ini pada masa kini meningkat di negara tertentu berhubung dengan tingkat infeksi yang tinggi dan terjadinya penurunan daya tahan tubuh akibat kemiskinan atau penyakit AIDS. Di samping itu diakibatkan pula oleh insidensi kasus TB resisten yang semakin tinggi. Tuberkulosis merupakan penyakit sistemik yang dapat mengenai hampir semua organ tubuh, yaitu organ pernafasan (TBparu-TBP) ataupun di organ di luar paru (TB Ekstraparu- TBE).
Kuman TB dapat hidup lama tanpa aktifitas dalam jaringan tubuh (dormant) hingga sampai saatnya ia aktif kembali. Lesi TB dapat sembuh tetapi dapat juga berkembang progresif atau mengalami proses kronik atau serius. Lesi ini dapat dijumpai secara bersama di organ paru dan ekstraparu ataupun secara sendiri-sendiri. Karena itu dalam penatalaksanaan TB pada umumnya, TB paru pada khususnya, haruslah tercakup usaha yang gigih untuk mencari bukti adanya kejadian TB di organ ekstraparu.
Beberapa negara maju melaporkan penurunan angka kejadian TBP disertai peningkatan prosentase kejadian TBE. Hal ini berhubungan dengan hal di atas dan adanya metoda diagnosis yang lebih maju terhadap TBE hingga lebih sering bisa ditemukan. Penelitian di Jawa Barat menunjukkan kejadian TBE yang tinggi yang menyertai TBP
4.      Anamnesis tambahan dan pemeriksaan penunjang.
Untuk mendukung diagnosis penyakit pada kasus skenario, dibutuhkan sejumlah anamnesis tambahan seperti:
a.       Riwayat penyakit yang sama pada anggota keluarga
b.      Riwayat frekuensi penggunaan obat, apakah diminum secara teratur?
c.       Riwayat kontak dengan pasien penyakit infeksi
d.      Ada tidaknya bunyi ronkhi untuk mengetahui infiltrasi dalam paru
e.       Ada tidaknya keringat pada malam hari untuk mengetahui tanda – tanda TB
f.       Riwayat merokok

Sedangkan untuk pemeriksaan penunjang, sejumlah pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
1.      Pemeriksaan bakteriologik
2.      Mantoux Test
3.      Pemeriksaan CXR
4.      Analisis DNA bakteri

Informasi tambahan:
1.      Penegakkan diagnostic pada:
a.       Pneumonia
 Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada pemberian terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit, dan perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Diagnosis didasarkan pada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang teliti dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis pneumonia komunitas didapatkan dari anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik, foto toraks dan laboratorium.
Anamnesis
Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang berhubungan dengan faktor infeksi :
  1. Evaluasi faktor pasien/ predisposisi : PPOK (H. Influenza) penyakit kronik, kejang atau tidak sadar, penurunan imunitas, pneumocystic carini, CMV,  legionella, jamur, mycobacterium, kecanduan obat bius
  2. Bedakan lokasi infeksi : PK, rumah jompo, PN, gram negatif
  3. Usia pasien : bayi, muda, dewasa
  4. Awitan : cepat, akut dengan rusty coloured sputum;perlahan dengan batuk, dahak sedikit.
Pemeriksaan Fisik
  1. Awitan akut biasanya oleh kuman pathogen seperti Steptococcus pneumoniae, Streptoccus spp, Staphylococcus. Pneumonia virus di tandai dengan mialgia, malaise, batuk kering dan non productive
  2. Awitan lebih insidious dan ringan pada orang tua/imunitas menurun akibat kuman yang kurang pathogen/oportunistik
  3. Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berupa demam, sesak nafas, tanda-tanda konsolidasi paru
  4. Warna, konsistensi dan jumlah sputum penting untuk di perhatikan.
Pemeriksaan Penunjang
    1. Pemeriksaan Radiologis : foto toraks PA/lateral, gambaran infiltrat sampai gambaran konsolidasi (berawan), dapat di sertai air bronchogram.
    2. Pemeriksaan Laboraturium : terdapat peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10.000/ul, kadang-kadang dapat mencapai 30.000/ul.
    3. Untuk menentukan diagnosis etiologi dilakukan pemeriksaan biakan dahak, biakan darah dan serologi.
    4. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia pada stadium lanjut asidosis respiratorik.
      Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru, atau infiltrat progresif ditambah dengan dua atau lebih gejala seperti batuk-batuk bertambah, perubahan karakteristik dahak atau purulen, suhu tubuh lebih dari 38oC (aksila) atau riwayat demam, pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkhial, ronkhi, dan leukosit >10.000 atau <4500 /uL. Pada pasien usia lanjut atau dengan respon imun rendah, gejala pneumonia tidak khas dan dapat berupa gejala non-pernafasan seperti pusing, gagal tumbuh (failure to thrive), perburukan dari penyakit yang sudah ada sebelumnya, dan pingsan. Biasanya ditemukan frekuensi nafas bertambah cepat (takipnea) tetapi demam sering tidak ada. Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT).
Diagnosis pneumonia nosokomial dari CDC :
  1. Ronkhi atau Dullness pada perkusi torak. Ditambah salah satu
  1. Onset baru spurum purulen atau perubahan krakteristiknya
  1. Isolasi kuman dari darah
  2. Isolasi dari bahan aspirasi transtrakheal,au sapuan bronkhus.
  1. Gambaran radiologik berupa infiltrat baru atau yang pogresif, kosolidasi, kavitasi, atau efusi pleura :
  1. Isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret respirasi
  2. Titer antibodi tunggal yang diagnostik (IgM) atau peningkatan 4 kali titer IgG dari kuman
  3. Bukti histopatologik dari pnumonia.    
  1. pasien 12 tahun dengan 2 dari gejala-gejala berikut : apnea, tachypnea, bradycardia, wheezing, ronkhi atau batuk. Dan di sertai salah satu dari peningkatan produksi sekresi respirasi atau salah satu kriteria no 2 di atas.
  1. Pasien 12 tahun yang menunjukkan infiltrat baru atau progresif, kavitasi, konsolidasi, efusi pleura pada foto torak.

b.      TBC Paru

Dengan pemeriksaan yang sistematik, intensifdan berulangkali, serta berdasarkan pengertian pada perjalanan penyakit tuberkulosis, diagnosis TBE ataupun TBP akan lebih mudah ditegakkan. Jenis-jenis pemeriksaan yang perlu dilakukan tergantung kepada bentuk manifestasi TB.
1. Keadaan Klinik
Perlu dipahami perkembangan penyakit yang menahun dan tuberkulosis terjadi secara melompat-lompat, dengan berbagai bentuk gej ala dan manifestasi TB. Riwayat terapi TB sebelumnya perlu diketahui untuk evaluasi hasil pengobatan, yaitu mengenai jenis paduan obat yang dipakai, lama pemberian, keteraturan berobat.
a. Gambaran Klinik TB Paru
Evaluasi keadaan klinik didasarkan keluhan dan gejala utama TB Paru dapat berupa: batuk +1- sputum, pnemonia yang lambat sembuh, demam dan berkeringat, hemoptisis, penurunan berat badan, nyeri dada, ronkhi di puncak paru, sesak nafas, wheezing lokal, lemah badan, anoreksia. Pada TB Paru milier akut gejala tersebut sangat menonjol dan pada 10-30% disertai manifestasi TB Ekstraparu berupa TB choroid, TB meningen, hepatosplenomegalia, dan kadang kadang Adult Respiratory Distress Syndrome. TB Paru milier kriptik yang terdapat pada orang tua jarang disertai dengan gejala TB Ekstraparu.
b. Laboratorium klinik umum ·
- Hb. Anemi bila ada disebabkan oleh peradangan kronik, perdarahan, atau defisiensi.
- Laju Endap Darah (LED). Mungkin meninggi, tetapi tidak dapat merupakan indikator untuk aktivitas penyakit.
- Tes Faal Hati. TB di hati dapat menimbulkan gangguan faal yang ringan berupa retensi BSP (pada 50% kasus), peninggian alkali fosfatase (pada 33% kasus), peninggian SGOT ringan
(pada 90%)
- Hipokalemi/hiponatremi. Kadang-kadang keadaan ini bisa dijumpai pada TBP milier.
- Serologik/kimiawi. Cairan radang tuberkulosis bersifat eksudat, dan hal ini terbukti bila memenuhi satu atau lebih kriteria di bawah ini:
1) Kadar LDH (Lactic Dehydrogenase) > 200 SI
2) Ratio (LDH CairanfLDH serum) > 0,6
3) Ratio (protein cairan/protein serum) > 0,5.
Didapatkannya Rivalta test (+) dan hitungan sel pada cairan yang menunjukkan mayoritas limposit menyokong adanya eksudat dengan peradangan yang kronik.
- Pemeriksaan lain : PPD 5 TU. Hasil (+) tidak
menunjukkan tingkat aktifitas. Bisa (-) pada TB yang berat.
2. Radiologik
Jenis pemeriksaan radiologik yang bisa kita lakukan adalah:
- Foto toraks PA, lateral, lateral decubitus, top lordotic, atau tomogram.
a) Foto toraks
Perlu diingat bahwa umumnya sulit menentukan tingkat aktifitas TB Paru dan foto toraks karena biasanya terlihat berbagai stadium dan paduan gambaran berbagai jenis lesi. Bila
terdapat secara bersamaan gambaran infiltrat seperti awan dengan batas tak tegas pada TBP dini, kita mungkin bisa tnenyangka adanya proses TBP yang secara radiologis aktif.
Yang penting adalah pemeriksaan lanjutan dengan foto seri untuk mengevaluasi adanya kemajuan terapi atau perburukan gambaran radiologik yang dianggap sebagai gambaran TB Paru. Di samping itu perlu diperhatikan penyebab lain dari gam baran radiologi yang terlihat, misalnya adanya infeksi sekunder kuman lain berupa pneumonia, adanya tumor paru, aspergillosis, efusi perikardial dan sebagainya. Gambaran radiologik tidak ada yang benar spesifik untuk tuberkulosis paru. Sifat gambaran non toraks yang dianggap menyokong untuk
TB Paru adalah:
1) Bayangan yang terutama menempati bagian atas/puncak
paru.
2) Bayangan bercak atau noduler.
3) Bayangan rongga; ini dapat juga misalnya oleh Ca atau
abses paru.
4) Kalsifikasi.
5) Bayangan bilateral, terutama bagian paru atas.
6) Bayangan abnormal yang menetap tanpa perubahan pada
foto ulangan setelah beberapa minggu. ini membantu menying
kirkan kemungkinan pneumonia atau infeksi lain.
Corakan sistem pernafasan yang bisa terlihat pada foto
toraks dapat berupa: infiltratleksudatif, penyebaran bronkogen, kalsifikasi, fibroeksudatif/fibrainduratif, gambaran milier, konsolidasi. Di samping itu juga : efusi pleura,atelektasis, fibrosis pleura, bronkiektasis.
National Tuberculosis Association USA (1961) menetapkan klasifikasi luas lesi gambaran radiologi dan TB Paru yang berguna dalam klinik, yaitu:
1) Lesi minimal: lesi dengan densitas ringan sampai sedang tanpa kavitas, pada satu atau dua paru dengan luas total tidak melebihi volume satu paru di atas sendi kondrosternal kedua.
2) Lesi moderat: lesi terdapat pada 1 atau 2 paru dengan luas total tidak melebihi batas sebagai berikut : lesi dengan densitas ringan sampai dengan yang terbesar,
luasnya sampai volume 1 paru atau yang setara pada kedua paru. lesi pada dan berkumpul yang berkumpul yang luas terbatas sampai sepertiga volume 1 paru. Bila ada kavitas luas diameter total kurang dari 4 cm.
3) Lesi lanjut: lesi yang lebih luas dan moderat.

----

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. 2004. Bronkitis. http://ww.medicastore.com/med. 2007
2. Anonim. 2004. Penyakit Paru Obstruktif Menahun. http://www. medicastore.com /med. 2007
3. McPhee, S.J., et al. 2003. Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical Medicine. 4th ed. United State of America: Lange Medical Book McGraw-Hill Companies.
4. Miravitlless, Marc. 2007. Determining Factors in the Prescription of Moxifloxacin in Exacerbations of Chronic Bronchitis in the Primary-Care Setting. http://web.ebscohost.com/ehost. 2007
5. Qarah, Samer. 2007. Bronchitis. http://www.emedicine.com/med. 2007
6. Rubenstein, D., et al. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis, edisi keenam. Penerbit Erlangga. Jakarta
7. Setiawati, A., Darmansjah, I., and Mangunnegoro, H. 2005. Safety and tolerability of moxifloxacin in the treatment of respiratory tract infections a post-marketing surveillance conducted in Indonesia. Medical Journal of Indonesia. vol.:14, no:1, hlm. 11-19.

No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS