Kenyataan
Sebuah Mimpi…
Akifah Rahmat
(dan lagi-lagi… aku
merasa… telah memeluk seorang bidadari…)
Seorang muslimah.
Seorang gadis manis. Seorang saudari. Seorang teman. Seorang sahabat. Seorang
bidadari. Seorang pejuang.
Seorang syuhada !
Dia selalu tersenyum.
Dia selalu menampakkan senyumnya yang menyejukkan itu.
Juli 2008,
Dia... Kontingen Makassar.
Bersama 119 orang anak yang lain, membentuk kesatuan : angkatan 12… M2... X2...
Dia menyayangi “Nitendo Peace”. Dia cerdas. Dia peserta bimbingan olimpiade matematika.
Dialah pemilik senyuman yang indah.
Agustus 2008,
Dia memiliki banyak
kelebihan. Dia pasukan pengibar bendera hari kemerdekaan. Suaranya, suaranya
indah. Seperti indahnya warna biru. Seperti indahnya bulan. Dia bilang, ia
sangat suka memandangi bulan dan berbaju biru. Dia… Dia teguh pendiriannya. Dia
mengukuti hal-hal baik yang dicontohkan kepadanya. Seperti kakaknya. Dia
menjaga tapak kakinya. Dia istiqomah dengan balutan kaus kaki. Subhanallah…
Dialah pemilik senyuman yang indah.
September 2008,
Ah. Dia begitu gembira
ketika menonton drama Asia : Jewel In The Palace, Hwang Ji Ni, Full House,
Princess Hours. Tak banyak yang menyangka, gadis kalem dan manis ini begitu
antusiasnya membicarakan tokoh-tokoh korea. Dia... Begitu menyenangkan...
Dialah pemilik senyum yang indah.
Oktober 2008,
Dia memiliki cita-cita
yang mulia. Seorang dokter. Ya. Baginya, tidak ada yang begitu indah selain
menjadi seseorang yang bermanfaat bagi orang lain. Dia mempertahankan
aqidahnya. Dia ingin menjadi seseorang yang digambarkan pada namanya. Akifah : Yang
menetap ; Rahmat : anugerah. Dia mengerti, kebahagiaan tidak selamanya indah.
Dia pernah bilang dia ingin sekali meraih mimpinya. Ya... Dialah pemilik senyum
yang indah.
November 2008,
Keramahannya membuat ia
pantas menjadi rege Keasramaan. Sejak awal pun ia telah terpilih menjadi wakil
ketua asrama. Kepribadiannya yang baik. Mengagumi teman-temannya. Dan satu
hal.. Tak lengkap indahnya malam tanpa mendengar suaranya untuk mengajak seisi
asrama tadarus..
“ yang di atas... yang
di bawah... tadarus...”
Suara itu... suara manja
setiap malam itu... terekam... tak pernah mati.
Dan dialah… dialah
pemilik suara yang indah…
Desember 2008,
Sudah satu semester
bersama dia... Akifah... Dia sangat menyukai Matematika dan Bahasa Indonesia.
Dia terkadang mengeluh
dengan kesibukan yang tiada habisnya di sekolah ini. Tapi semua itu dapat ia
lupakan karena ia merasa beruntung memiliki teman-teman seperti angkatan 12..
Mei 2009,
Segala puji bagi Allah…
Yang telah mengizinkan
dia… Pemilik senyum yang indah... menyambut tahun ke-16 nya di dunia…
6 Mei 2009...
Bahagia dia... bahagia
kami... bahagia kami semua…
Hari itu.. Mata berbinar
penuh harap dan semangat, semoga umur barunya itu, membawanya pada hidup yang
lebih baik.
Harinya penuh dengan
keindahan. Terlihat saat dia memerankan sosok Ibu Guru pada drama Bahasa
Indonesia...
Dia... menghayati
perannya... Teringat saat itu... Dengan gaun hitam, ia menjadi guru dambaan
anak-anak, yang terpaksa pergi meninggalkan mereka dengan sajak indah, untuk
menempuh jalan lain...
Dia... dialah pemilik
senyum yang indah.
Juni 2009,
Mungkin ini bulan
kelabu, jenis kelabu yang benar-benar kelabu bahkan mendekati hitam. Namun,
warna biru itu masih saja muncul dari balik tutupan kelabu itu. Walau kelabu, pagi
masih saja mau tersenyum untuk Si Biru hingga Biru itu sanggup mengundang semburat
mentari yang indah, nyanyian burung yang indah, dan tetesan embun pagi yang
sejuk.
“buk.. Tangkap
Akifah..!”, itulah ceria teriakan Lana meminta ia menangkap bola, dasar si Biru
yang suka senyum, walau harus berlari dan terengah-engah untuk menangkap bola
tersebut, ia tetap tersenyum.
Malam datang, bersama
bulan yang menunjukkan keangguanannya, entah mengapa rasanya kembali kelabu
walau di langit taburan bintang menerangi dengan antusias. Dirinya keukeuh
berdiam di bawah payung langit demi menyaksikan kemegahan malam bersama bulan
yang amat disukainya.
Malam itu dirinya penuh
dengan pesan dan kesan. Entah mengapa suasana malam jadi semakin kelabu.
“kawan.. kita harus kompak, kita jangan membuat gap-gap lagi.” Ujarnya
dengan wajah penuh harap dan cahaya mata ketulusan.
Malam semakin gelap.
Senyum itu mulai pulas dalam tidurnya, hingga suatu saat, senyum itu, keceriaan
itu, berubah menjadi tangis kesakitan. Meraung-raung merobek hati siapapun yang
melihatnya. Mengiris pilu menyisakan luka sembilu yang teramat perih.
Pagi kembali menyambut
dengan wajah baru penuh duka dan asa, berharap senyum itu kembali mengundang
suasana pagi yang indah. Berharap tawa itu kembali merenyahkan suasana pagi
yang malas. Berharap keceriaan itu hadir lagi dan mengisi setiap relung jiwa
kita bagai embun pagi yang sejuk dan segar.
Rona merah itu telah
pudar dari wajahnya, namun pesonanya tak pernah hilang dari pelupuk mata.
Alangkah bahagianya kita bisa melihat bibir itu melukiskan segaris senyum,
walau tubuh itu kaku, dingin, dan terpisah dari ruhnya. Sungguh pemilik senyum
sepanjang masa.
Si Biru pemilik senyum
itu telah berpulang, menemui kehidupan barunya di tempat lain. Tempat yang
terasa jauh dari jangkauan, terasa tak kasat mata tapi ada dan benar-benar ada.
Dia meninggalkan kita,
bagian dari hidupnya di dunia fana. Meninggalkan segala kenangan indah
tentangnya, meninggalkan ngiang merdu tawa cerianya, dan meninggalkan seulas
senyum dan keanggunannya. Sunguh… Dia pemilik senyum yang indah.
Dia bagaikan keanggunan
bulan di malam hari,
Bagaikan kesejukan embun
di pagi hari,
Bagaikan keceriaan sinar
mentari di siang hari,
Dan bagaikan kelembutan
angin sepoi-sepoi,
Kala senja menghampiri,
Dan kala itu… 17 Juni
2009… Adalah hari di mana orang-orang tidak akan memungkiri… Bahwa dialah… Dialah
pemilik senyum yang indah…
No comments:
Post a Comment